Tema:
- wara
Pada suatu hari, seorang pria bernama Idris berjalan menyusuri sungai untuk pergi ke suatu tempat. Karena bekal yang dia bawa telah habis. Ia beristirahat sejenak di tepi sungai sembari berdoa kepada Allah berharap akan datang sebuah makanan. Tiba-tiba Idris menemukan buah delima yang hanyut terbawa arus sungai. Karena perutnya sangat lapar, tanpa berpikir panjang Idris langsung mengambil dan memakan buah delima tersebut.
Namun, di tengah-tengah ketika ia sedang makan, tiba-tiba ia tersadar dan bergumam “Apakah buah yang aku makan ini halal? Bukankah buah delima ini bukan milikku?”
Kecemasan pun menimpa hati Idris, ia tidak ingin memakan sesuatu yang haram atau bahkan belum jelas status kehalalannya. Akhirnya Idris bertekad untuk mencari dari mana asal buah delima itu dan siapakah pemiliknya. Ia berniat untuk meminta restu agar buah delima yang sudah ia makan menjadi halal.
Idris kemudian berjalan menyusuri arus sungai yang berlawanan. Di sepanjang jalan ia tak berhenti mengamati adakah pohon delima yang buahnya mirip dengan apa yang sudah ia makan. Perjalanan yang panjang itu membuahkan hasil, akhirnya Idris menemukan sebuah pohon delima yang berbuah lebat, ia pun mencari tahu siapa pemilik pohon tersebut.
Sampai akhirnya Idris berhasil menemukan siapa pemilik pohon delima, ia bercerita kepada pemilik kebun bahwa ia menemukan buah delima hanyut di aliran sungai lalu memakannya. Idrispun bertanya,“Apakah buah ini halal untuk saya? Apakah anda mengikhlaskannya?”
Pemilik pohon buah delima itu menjawab “jika kamu ingin saya menghalalkan buah yang sudah kamu makan, maka ada syaratnya. Yaitu kamu harus bekerja di kebun milikku selama satu bulan dengan tanpa gaji.” Mendengar syarat yang diberikan pemilik kebun, Idris langsung menyanggupinya tanpa berpikir panjang.
Satu bulan berlalu, Idris merasa sudah memenuhi syarat dari pemilik kebun. Idris kemudian menemuinya dan berkata, “Tuan, saya telah menjalankan tugas sebegai syarat yang engkau berikan. Apakah Tuan sudah menghalalkan buah delima yang sudah saya makan”?
Melihat kegigihan dan kejujuran Idris, sang pemilik kebun kembali memberikan persyaratan kepada Idris, “Betul kamu sudah memenuhi syarat yang telah kuberikan, namun masih ada satu syarat lagi yang harus kau penuhi. Yaitu kamu harus menikahi putri saya, ia adalah seorang gadis yang buta, tuli, bisu dan lumpuh”
Idris merasa bimbang atas syarat kedua yang diberikan oleh pemilik kebun tersebut. Ia berpikir bagaimana bisa ia akan menikah dengan gadis yang buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Namun karena kesalehannya dan demi mendapatkan ridla halal dari pemilik kebun tersebut, Idris akhirnya menikah dengan putri sang pemilik kebun.
Setelah akad nikah selesai, sang pemilik kebun mempersilahkan Idris menemui putrinya di dalam kamar. Begitu Idris masuk kamar, ia terkejut bukannya menemukan seorang gadis yang buta, tuli, bisu dan lumpuh, justru ia mendapati seorang gadis yang kecantikannya nyaris sempurna dan begitu anggun.
Melihat gadis yang tidak sesuai dengan apa yang diceritakan pemilik kebun, Idris pun kembali menemui pemilik kebun lalu bertanya, “Apakah aku salah memasuki kamar seorang gadis, sebab yang aku temui bukanlah gadis yang engkau ceritakan?” Pemilik Kebun pun menjawab, “kamu tidaklah salah kamar, gadis yang ada di dalam kamar adalah benar anakku. Maksudku mengatakan bahwa ia buta, tuli dan lumuh adalah bahwa putriku memang buta, tuli, bisu dan lumpuh dari kemaksiatan.”
Meski tidak ia sangka-sangka, berbahagialah Idris, ayah Imam Syafi’i itu, yang telah mendapati seorang istri yang salehah nan cantik jelita. Rupanya hal inilah alasan pemilik kebun untuk menikahkan Idris dengan putrinya. Yaitu karena kejujuran, kesalehan, tanggung jawab, dan sikap wara’ nya yang sangat luar biasa. Dan pernikahan ini kelak lahirlah seorang anak laki-laki yang ia beri nama Abu Abdullah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i atau Imam Syafi’i, seorang ulama besar yang pendapat-pendapatnya menjadi rujukan umat muslim dunia.
Hikmah Cerita
- Dari kisah Idris, ayah Imam Syafi’i ini salah satu sikap yang sangat terjaga olehnya yaitu wara’. Wara’ menurut Burhan Al-Islam Al-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’alim memiliki makna menjauhi hal-hal yang mesti kita jauhi. Yakni yang bersifat haram dan syubhat (samar-samar). Betapa Idris telah mencontohkan sikap wara’ ini.
- Tersebutkan juga sikap wara’ diantaranya yaitu tidak banyak makan, tidur, banyak bicara yang tidak bermanfaat, tidak makan makanan pasar karena lebih mudah terkena najis.
sumber - dengan sedikit penyesuaian.